Senin, 16 Juni 2014

Anak Bodoh (Bag. 2 End)

   
    Kisah ini bermula saat kelas 4 SD saat pelajaran matematika masuk ke pelajaran pembagian, saat Budi belajar pembagian dengan giat. Dengan dibantu oleh pamannya Budi belajar perkalian juga pembagian, saat itu Budi memang cukup kesulitan untuk pelajaran matematika. Tapi  Budi tidak mengenal lelah untuk teru belajar matematika, dari mulai menghapal perkalian, menghitung kelipatan demi kelipatan, perkalian angka 5 dan 10 yang mudah sebagai patokan. Saat matematika pembagian ia mulai memahami bagaimana menemukan jawaban dari soal, setelah sepanjang siang hingga sore ia berkutat di pembagian dan memahaminya, Budi pun cukup percaya diri untuk pelajaran matematika esok harinya.
     Saat pelajaran dimulai Budi merasa sudah siap jika dipanggil ke depan untuk mengerjakan soal yang akan diberikan, setelah selesai menjelaskan cara pembagian ibu guru pun membuat 5 soal yang ia tulis di papan tulis. Lalu ditunjuklah satu persatu murid untuk maju ke depan, termasuk salah satunya adalah Budi. Begitu sampai di depan dan mulai mengerjakan soal beberapa saat kemudian ia mulai tidak tenang. Budi mulai kesulitan mengerjakan soal tersebut, perasaannya mulai gugup, tangannya mulai gemetar. Ia berpikir keras dan mulai panik, soal ini terasa lebih sulit daripada selama ini yang ia latih, Budi mencoba mengerjakan sebisa mungkin, bahkan sampai ke 4 temannya sudah selesai ia masih belum bisa menyelesaikan soalnya.
     Lagi-lagi ibu Guru pun marah kepadanya lalu menyuruhnya keluar kelas mencari sejumlah batu kerikil, sementara ia keluar mencari batu murid-murid yang lain melanjutkan pelajaran. Dengan perasaan malu Budi memunguti batu-batu kerikil dilapangan sejumlah soal tadi, setelah mengumpulkan batu-batu itu ia pun kembali ke dalam kelas. Lalu ibu Guru memerintahkan dirinya untuk membagi batu kerikil tersebut dibeberapa meja, sampai jumlah terakhir batu ditangannya habis. Bisa dibayangkan bagaimana Budi menahan malu karena ada beberapa temannya tertawa kecil & mengejeknya, setelah selesai batu terakhir ibu guru menyuruhnya menghitung ada berapa batu di meja dan batu tersisa di tangannya.
     Sepulang sekolah masih ada beberapa anak murid yang mengejeknya dan menertawakan apa yang sudah terjadi dikelas tadi, Budi pun melangkah pulang ke rumah dengan kepala tertunduk. Semangatnya hampir hilang karena ini kedua kalinya merasa malu menjadi murid terbodoh dikelas, sampai dirumah masuk kamar Budi pun mencoba kembali soal yang tadi, dia pun mencoba dengan cara paling gampang dengan membuat kotak-kotak lalu membuat bulat-bulatan kecil didalamnya sambil membayangkan kejadian dikelas tadi. Setelah beberapa lamanya Budi pun tersenyum puas dan paham bagaimana ia harus belajar mencapai sebuah tujuan.

kita mungkin akan mengira anak bodoh sewaktu SD akan tetap sama sewaktu melanjutkan sekolah di jenjang berikutnya, tentu itu anggapan yang tidak selalu benar. Saat Budi masuk SMP yang tidak favorit orang sekampungnya membandingkan dengan anak lain yang bisa masuk SMP favorit. Tapi di SMP itu Budi belajar keras, ia memilah mana pelajaran yang potensial mendapatkan nilai tinggi dan pelajaran mana ia harus mengalah. Mengalah bukan berarti membiarkan dapat nilai jelek tapi mempertahankan pada level yang ia mampu, dengan kata lain pelajaran dengan nilai tinggi akan mengatrol nilai yang pas-pasan. Budi belajar dari pengalaman waktu SD dimana ia lemah di matematika, sewaktu SMP pun nilanya jarang sampai angka 7 dan terendah angka 5, dan jangan heran jika Budi bisa masuk 5  besar saat menerima rapor bahkan pernah juara 2. 
Artinya tidak anak yang bodoh hanya belum mengerti dan belum mendapatkan guru yang tepat.